Utang

Jangan menganggap sederhana, saat tidak memberikan perhatian yang sempurna untuk orang yang kita tegur. Apalagi zaman sekarang yang setiap orang hampir selalu disibukkan dengan alat komunikasi di tangannya. Alat teknologi bukan sesuatu yang luar biasa, …

Jangan menganggap sederhana, saat tidak memberikan perhatian yang sempurna untuk orang yang kita tegur. Apalagi zaman sekarang yang setiap orang hampir selalu disibukkan dengan alat komunikasi di tangannya. Alat teknologi bukan sesuatu yang luar biasa, sebagaimana delapan atau sepuluh tahun lalu. Waktu itu, mereka yang memegang alat komunikasi seperti handphone, dianggap orang yang penting dan luar biasa.

Alat komunikasi sering mengecoh kita. Saat berbicara dengan orang yang seharusnya diberi perhatian, kita malah sering mengurusi handphone. Terkesan seperti ada peningkatan aktivitas yang berlipat dengan adanya alat komunikasi, sehingga untuk memberi perhatian untuk lawan bicara saja, hampir tidak bisa dilakukan secara sempurna.

Padahal saat berhadap-hadapan, kita harus memberikan perhatian. Jangan mengabaikan orang yang menjadi lawan bicara kita. Saat ia memberi perhatian kepada kita, maka begitu juga yang harus kita lakukan, kita harus memberi perhatian kepada mereka.

Saya punya pengalaman salah menegur dan ditegur. Sebenarnya salah ditegur dan menegur, sudah banyak terjadi. Ketika sedang mengerjakan makalah di sebuah warung kopi, ada mahasiswa tanggung duduk persis membelakangi saya. Posisi meja berderet dari jalur masuk hingga ke arah belakang, yang di sana meja kasir. Ada lima deret meja dengan dua pintu toko yang sudah tidak ada dinding tengahnya. Saya duduk persis di baris ketiga dari depan. Dengan posisi menghadap ke arah meja kasir –ke arah belakang. Mahasiswa yang datang menegur saya dari belakang duduk di baris kedua, dengan posisi ke arah depan –membelakangi saya.

Dia tidak melihat saya. Dia sebut saya bang. Ia bilang utang yang disuruh minta itu belum bisa dibayari. Orang yang diminta membayar itu, katanya belum ada uang.

“Saya bingung bang, utangnya cuma tiga ratus ribu. Datangnya berkali-kali. Bapak itu punya toko. Satu toko bangunan, satu toko kelontong, satu warung nasi. Anaknya yang sudah sarjana dua. Kemarin menikahkan anak perempuannya dengan pesta besar dengan anak pejabat. Masa utang segitu susah kali bang?”

Saya sendiri tidak peduli karena menganggap ia duduk dengan temannya, dan bukan berbicara dengan saya. Saya juga merasa tidak mengenalnya.

Ia melanjutkan sendiri bicaranya.

“boleh gak bang saya bertemu saja isterinya? Atau saya kenal anak pertamanya bang, yang dulu kuliah di manajemen?”

Karena tidak ada jawaban dari belakang, mungkin ia mulai berfikir. Makanya ia menoleh dan memastikan. Ketika tahu bukan orang yang diharapkan, ia tidak lagi menunggu gelas kopi yang sudah diantar. Ia langsung bergeser ke deretan paling kanan, yang ternyata orang yang ia temui ada di sana.

Suasana begitu tidak sekali saya temui. Orang bahkan menceritakan orang-orang yang bermasalah. Ada orang yang tinggal dekat dengan tempat saya tinggal. Bahkan ada yang saya kenal dekat, diceritakan oleh orang yang sama sekali saya belum kenal. Dan ternyata memang mereka salah orang.

Saya sendiri pernah menegur orang yang juga tidak saya kenal. Saya hanya melihat dari fisik tubuhnya yang dari belakang mirip dengan teman saya. Ketika bertanya sesuatu tetapi tidak dijawab, baru mencari wajahnya untuk melihat mengapa tidak dijawab.

Masalahnya adalah apabila hal yang kita tanyakan itu sesuatu yang menyangkut dengan orang lain. Kita tidak memastikan lebih dahulu bahwa orang yang ingin kita sampaikan benar-benar orang yang benar dan tepat. Bisa dibayangkan ketika menyampaikan masalah seseorang, kita sampaikan kepada orang yang bersangkutan, yang dari belakang kita kira teman kita.

Ketika sesuatu yang sudah kita ucapkan, susah untuk menarik kembali. Untuk hal yang baik tidak apa-apa. Namun untuk hal yang ganjil, hal tidak baik, akan meninggalkan bekas.

Leave a Comment